Menapak Jejak Di Bumi Pasundan

Oleh Muhamad Abiet Firdaus

(Foto: Pribadi)

Pagi beranjak siang, dibalik kamar seluas 3 meter tampak pria yang masih tertidur lelap dibawah alam mimpinya, terkejutnya ia dibangunkan oleh sanak keluarga karena ia diajak berlibur ke bumi pasundan. Bergegaslah ia dari ranjang untuk mempersiapkan liburan akhir pekan ini, berangkat hanya bermodalkan 1 tas dan isi seadanya sambil tampak senang terlihat dari raut wajahnya karena ia masih mengira ini hanya mimpi. Dalam perjalanan singkat yang ditempuh dari Jakarta-Bandung hanya 45 menit, karena ia menggunakan transportasi kereta cepat Whoosh. Dalam perjalanan yang meniti lekukan kereta cepat seakan menandakan Bandung menyambut dengan tangan terbuka. Kota yang kaya akan seni, budaya, dan alam, menjadi panggung bagi petualangan liburan yang tiada tara.

Setibanya di Bandung pada siang hari, ia langsung disambut oleh gemuruh hujan yang membuat bulu kuduk merinding. Di bawah bayang-bayang pepohonan rindang, kisah petualangan pun dimulai, jalanan yang sepi berliku memandu ia melalui taman-taman hijau yang menawarkan pelukan kesejukan. Bandung, sebuah kota yang sejarahnya terpahat dalam setiap arsitektur tua yang megah. Gedung-gedung bersejarah di Jalan Asia Afrika menjadi saksi bisu perjalanan waktu. Di sini, dinding-dinding tua yang rapuh menyimpan cerita tentang perjuangan dan kejayaan masa lalu, sementara jendela-jendela kuno menyaksikan berlalunya para wisatawan yang haus akan keindahan.

Kota ini bukan hanya tempat untuk melangkahkan kaki, melainkan panggung inspirasi bagi penikmat seni. Dari sudut-sudut kota yang tak terduga, seniman jalanan berkarya dengan warna-warna yang menggetarkan jiwa. Jalanan menjadi kanvas yang hidup, menghidupkan setiap sudut kota dengan nuansa keberagaman. Di antara aroma kopi yang menari di udara, Bandung memanggil para penikmat kuliner. Jajanan tradisional dan kafe-kafe modern bersatu dalam harmoni rasa.

Di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, pohon-pohon tua bersaksi bisu tentang cinta yang tumbuh dengan keindahan zaman. Daun-daun yang berbisik dan jalanan setapak yang menyatu dengan alam, menciptakan panggung impian bagi sepasang kekasih. Di sini, romantisme terbentang dalam rindu alam yang mengalir dalam setiap serat kehidupan. Jalan Braga, jantung sejarah kota yang menjadi saksi bisu cinta dalam balutan seni dan kebersamaan. Dijalan ini tampak aroma kopi yang menari di udara, Bandung memanggil para penikmat kuliner. Jajanan tradisional dan kafe-kafe modern bersatu dalam harmoni rasa. 

Di bawah cahaya lampu temaram, langkah-langkah pasangan yang bergandengan tangan menjadi saksi kisah percintaan mereka. Kisah-kisah lampau bercampur dengan romantisme yang terpancar dari setiap lirik musik yang mengalun oleh seniman musik. Dan saat matahari menjelang beristirahat, Gunung Tangkuban Parahu tampal merayakan keindahannya melalui langit oren nya. Dengan awan yang meliuk liuk di puncaknya, gunung itu menjadi pemandangan luar biasa yang melengkapi liburan di bumi pasundan ini. Suara angin dan gemuruh Gunung Tangkuban Parahu adalah anugrah menuju kita ke malam yang tenang.

Di hiasan dinding yang membelai dinding tiang beton Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) Jalan Asia Afrika, Tulisan indah itu berbicara, "Bumi Pasundan Lahir Ketika Tuhan Sedang Tersenyum," seperti catatan rahasia yang terukir dalam serpihan senyum-Nya yang terhampar.

Ya memang bagi siapa saja yang datang ke kota ini akan merasakan senyuman yang riang dengan keindahan disetiap sudut kotanya. Dalam setiap langkah di kota ini, romantisme Bandung menjadi puisi yang tak berujung. Melalui jejak-jejak sejarah, indahnya alam, dan kenikmatan kuliner, Bandung merajut cerita cinta yang terukir abadi. Kota ini bukan hanya destinasi liburan, melainkan persembahan cinta yang membawa kita dalam pelukan romantisme yang abadi.